Sabtu, 09 Januari 2010

Nabi Muhammad S.A.W adalah Nabi terakhir

Oleh : Fajar Waluyo
Penulis buku “Rekonstruksi Sejarah Isa al-Masih” & “Jejak Nabi Palsu“

Didalam ajaran Islam, gagasan mengenai tertutupnya generasi kenabian setelah kedatangan Nabi Muhammad sudah merupakan ketentuan yang disepakati kebenarannya oleh seluruh umat. Sebagaimana masalah ini tercantum didalam kitab suci al-Qur’an sendiri surah Al-Ahzaab [33] ayat 40, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi (khaatama (al)nnabiyyiina)”. Istilah “Khaatama” memiliki pengertian yang berkorelasi pada tanda akhir atau bagian penghabisan dari suatu pernyataan maupun ikatan tertentu. Dalam hal ini berkaitan dengan berakhirnya periode turunnya wahyu Tuhan kepada manusia, khususnya lagi yang berbentuk syariat keagamaan guna menjadi pedoman dalam hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tidak akan ada orang lain lagi yang berhak menyebut dirinya sebagai Nabi setelah usainya era kenabian Muhammad Saw. Konsepsi yang dibangun oleh kitab suci al-Qur’an tersebut selaras dengan gagasan “topology prophecy” yang banyak disinggung dibeberapa ayat lain.

Gagasan ini menyebutkan bahwa agama-agama yang terdahulu (dalam hal ini termasuk kitab suci dan para nabinya) merupakan insan-insan pilihan yang salah satu tugasnya untuk menyiapkan kehadiran “seorang manusia penggenap” dimasa depan yang akan datang sebagai bentuk penyempurna ajaran yang pernah ada sebelumnya. Ide ini mengantarkan pada pengertian bahwa pribadi-pribadi yang diutus Tuhan pada masa lalu itu bersifat lokal atau kedaerahan yang kelak akan dirangkum dan dikokohkan menjadi satu ajaran yang universal sehingga mampu diterima oleh seluruh manusia melewati batasan geografis atau kontinen dipermukaan bumi. Firman Allah : “Dan ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman:”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu“. (QS. Ali Imran [3] :81)

Inilah yang lalu ada pada diri Nabi Muhammad Saw, beliaulah orang yang dinubuatkan dan dijanjikan kedatangannya sebagai seorang syahidah dan mushaddiq dari para Nabi terdahulu. Topology kenabian ini sendiri bisa dilihat disejumlah ayat yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an. Dua diantaranya adalah, “Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui“.(QS. Al-Baqarah [2] :146) dan “Nabi yang ummi yang mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka.” (QS. Al-A’raaf [7] : 157). Melalui lisan Muhammad, Allah kemudian mewartakan tentang eksistensi misinya kepada seluruh manusia. “Katakanlah (wahai Muhammad): “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi.” (QS. Al-A’raaf [7] :158).

Beranjak dari sini, maka bagaimana mungkin kita bisa menerima pernyataan yang disampaikan oleh siapapun sesudahnya bahwa dia diberi wahyu oleh Tuhan dan diangkat sebagai Nabi-Nya, menggantikan posisi kenabian Muhammad. Kesempurnaan universalitas Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw sudah tidak lagi memerlukan turunnya Nabi-nabi baru pada masa-masa berikutnya. Bahkan meskipun itu berposisi sebagai Nabi non-syariat yang sifatnya mengembangkan dan membenarkan ajaran Muhammad. Nash-nash suci lainnya memberitakan secara transparan kepada kita bila sebagai gantinya maka Allah akan memilih hamba-hambaNya selaku muballigh dan mujaddid bagi umat manusia. “Jadilah kamu orang-orang rabbani (alim/berilmu) dengan sebab kamu telah mengajarkan al-Kitab, dengan sebab kamu telah mempelajarinya.” (QS. Ali Imran [3] :79). Nabi Muhammad Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.” (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah, dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi, Al-Khathib, dan Al-Harawi. Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani telah menshahihkan hadis ini dalam Shahih Abi Daud, Ash-Shahihah no. 599)

Tugas mujaddid -sebagaimana rabbani– bukan merubah apalagi membatalkan hukum­-hukum dan ketetapan al-Qur’an. Mujaddid adalah intelektual muslim yang akan memberikan penyegaran pemahaman atas sejumlah ayat­ayat al-Qur’an secara aktual dengan mengacu pada peradaban yang ada disetiap zamannya. Jumlah mujaddid yang Allah tampilkan dalam setiap zaman bisa jadi hanya satu, namun bisa pula berbilang. Tetapi yang jelas, mujaddid ini tidak berfungsi sebagai seorang Nabi ataupun Rasul sebab pintu kenabian telah ditutup dengan berakhirnya pengutusan Nabi Muhammad Saw. Predikat khaatama (al)nnabiyyiina didiri Muhammad bukan satu penghinaan atau pelecehan atas beliau. Sebaliknya justru menempatkan Muhammad dalam kedudukan yang tertinggi sebab beliau telah mendapatkan kemuliaan dari Allah untuk menjadi Nabi terakhir yang diutus dengan risalah atau aturan hukum menyeluruh kepada segenap manusia yang sebelumnya terpecah dengan masing-masing Nabi atau Rasul tersendiri pada setiap tempat dan periodenya, disesuaikan dengan kondisi dan situasi mereka masing-masing. Jika agama Islam sebelum Muhammad disampaikan oleh Nabi dari masing-masing bangsanya, seperti Musa dan ‘Isa yang hanya diperuntukkan kepada Bani Israel, tetapi Muhammad diutus oleh Allah untuk seluruh umat manusia disegala tempat di penjuru dunia ini dan disepanjang masa. Rahmat Allah tidak akan pernah berhenti turun bagi umat hanya karena pintu kenabian sudah ditutup. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya disurah Fathir [35] ayat 2 : “Apapun rahmat yang Allah limpahkan untuk manusia, maka tidak ada sesuatupun yang bisa menghalanginya, dan apa­-apa yang Dia tahan maka tidak ada sesuatupun yang dapat melepaskannya“. Gagasan yang dimunculkan jika salah satu rahmat yang dimaksud pada ayat tersebut salah satunya adalah rahmat kenabian, jelas merupakan gagasan yang tidak cukup valid untuk diterima. Memang wahyu sendiri terus turun pada individu-individu didunia ini, namun datangnya wahyu tersebut bukan lantas bisa menjadi dasar bagi mereka untuk menyandang gelar Nabi.

Istilah wahyu dalam terminologi al-Qur’an melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia atau antara Tuhan dengan hamba-hambaNya. Kata Awha atau kadang-kadang Awhayna sebagai bentuk dasar dari kata wahy misalnya digunakan ketika al-Qur’an merujuk kisah Nabi Zakariya yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat kepada kaumnya (QS. Maryam [19] :11), contoh lainnya adalah petunjuk yang diberikan Allah kepada kaum Hawariyyun (sahabat-sahabat Nabi ‘Isa) seperti yang ada dalam surah al-Maaidah ayat 111, terus juga petunjuk (Awha) yang diberikan kepada Ibunda Nabi Musa untuk melarungkan keranjang berisi puteranya dilautan (lihat surah Thaaha ayat 38 dan al-Qashash ayat 7) atau kisah pemberian wahyu kepada Maryam (ibunda dari Nabi ‘Isa al-Masih) saat beliau akan hamil secara parthenogenesis (lihat surah Ali Imron ayat 47 dan surah Maryam ayat 19) bahkan al-Qur’an menggunakan term yang sama ketika bercerita tentang pewahyuan Allah terhadap an-Nafs (lihat surah asy-Syams ayat 8). Dari sekelumit contoh yang kita sampaikan ini, adakah orang-orang tersebut (kaum hawariyyun, Maryam, Ibunda Nabi Musa dan an-Nafs) bisa disebut sebagai Nabi-Nabi ? Dan apakah al-Qur’an memang menyebut mereka seperti itu ? Sebagai kesimpulan yang bisa diperoleh secara singkat, pintu kenabian bagi umat manusia memang telah berakhir.

Tidak ada alasan apapun untuk membenarkan adanya kenabian sesudah Muhammad. Baik Nabi dalam kapasitas pembawa syariat maupun Nabi dalam kapasitas non-syariat (Nabi ikutan). Sahabat Nabi, Abdur Rahman bin Jubair berkata: Aku mendengar Abdullah bin ‘Amr ibn-’As meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Saw keluar dari rumahnya dan berkumpul bersama kami. Sikapnya menunjukkan kegelisahan hatinya seolah beliau akan meninggalkan kami. Beliau bersabda, “Aku Muhammad, Nabi Allah yang ummi’ dan kalimatnya tersebut diulang sebanyak tiga kali. Lalu dilanjutkannya: “Tidak akan ada Nabi lagi setelah aku !” (HR. Ahmad). Dilain kesempatan, Nabi Saw bersabda: “Jika saja ada Nabi sesudah aku, tentulah dia adalah Umar Bin Khatab.”(HR. Tirmidzi). Dari Sa’d bin Abi Waqqas r.a. Nabi SAW berkata kepada Ali (dalam perang Tabuk) : “Antara aku dengan engkau laksana hubungan antara Musa dan Harun, tetapi tidak ada nabi lagi sesudahku.” (HR. Bukhari dan Muslim) [] (Penjabaran yang lebih detil lagi, silahkan merujuk pada buku yang penulis tulis dengan judul “Jejak Nabi Palsu : Dari Mirza Ghulam Ahmad, Lia Aminuddin hingga Ahmad Musaddiq” terbitan Hikmah-Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar